PROGRAM STUDI AKUNTANSI KEUANGAN DAERAH (STIE Nobel Indonesia Makassar)(((((
Krisis multidimensional yang tengah melanda
bangsa Indonesia
telah menyadarkan kepada kita semua akan pentingnya menggagas kembali
konsep otonomi daerah dalam arti yang sebenarnya. Gagasan penataan kembali
sistem otonomi daerah bertolak dari pemikiran untuk menjamin terjadinya
efisiensi, efektivitas, transparansi, akuntabilitas, dan demokratisasi
nilai-nilai kerakyatan dalam praktik penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Selama masa Orde
Baru, harapan yang besar dari Pemerintah Daerah untuk dapat membangun
daerah berdasarkan kemampuan dan kehendak daerah sendiri ternyata dari
tahun ke tahun dirasakan semakin jauh dari kenyataan. Yang terjadi adalah
ketergantungan fiskal dan subsidi serta bantuan Pemerintah Pusat sebagai
wujud ketidakberdayaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam membiayai Belanja
Daerah.
Kritik yang muncul
selama ini adalah Pemerintah Pusat terlalu dominan terhadap Daerah. Pola
pendekatan yang sentralistik dan seragam yang selama ini dikembangkan
Pemerintah Pusat telah mematikan inisiatif dan kreativitas Daerah.
Pemerintah Daerah kurang diberi keleluasaan (local discreation)
untuk menentukan kebijakan daerahnya sendiri. Kewenangan yang selama ini
diberikan kepada Daerah tidak disertai dengan pemberian infrastruktur yang
memadai, penyiapan sumber daya manusia yang profesional, dan pembiayaan
yang adil. Akibatnya, yang terjadi bukannya tercipta kemandirian Daerah,
tetapi justru ketergantungan Daerah terhadap Pemerintah Pusat.
Dampak dari sistem
yang selama ini kita anut menyebabkan Pemerintah Daerah tidak responsif dan
kurang peka terhadap aspirasi masyarakat daerah. Banyak proyek pembangunan
daerah yang tidak menghiraukan manfaat yang dirasakan masyarakat, karena
beberapa proyek merupakan proyek titipan yang sarat dengan petunjuk dan
arahan dari Pemerintah Pusat.
Pemerintah Pusat melakukan campur tangan
terhadap Daerah dengan alasan untuk menjamin stabilitas nasional dan masih
lemahnya sumber daya manusia yang ada di Daerah. Karena dua alasan
tersebut, sentralisasi otoritas dipandang sebagai prasyarat untuk
menciptakan persatuan dan kesatuan nasional serta mendorong pertumbuhan
ekonomi. Pada awalnya pandangan tersebut terbukti benar. Sepanjang tahun
70-an dan 80-an, misalnya, Indonesia
mengalami pertumbuhan yang berkelanjutan dan stabilitas politik yang
mantap. Namun dalam jangka panjang, sentralisasi seperti itu telah
menimbulkan ketimpangan dan atau ketidakadilan, rendahnya akuntabilitas,
lambatnya pembangunan infrastruktur sosial, rendahnya tingkat pengembalian
proyek-proyek publik, serta memperlambat pengembangan kelembagaan sosial
ekonomi di daerah.
ARAH DAN KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH
Era reformasi saat
ini memberikan peluang bagi perubahan paradigma pembangunan nasional dari
paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembangunan secara lebih
adil dan berimbang. Perubahan paradigma ini antara lain diwujudkan melalui
kebijakan otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah yang
diatur dalam satu paket undang-undang yaitu Undang-Undang No. 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Kebijakan pemberian
otonomi daerah dan desentralisasi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab
kepada daerah merupakan langkah strategis dalam dua hal. Pertama,
otonomi daerah dan desentralisasi merupakan jawaban atas permasalahan lokal
bangsa Indonesia
berupa ancaman disintegrasi bangsa, kemiskinan, ketidakmerataan
pembangunan, rendahnya kualitas hidup masyarakat, dan masalah pembangunan
sumber daya manusia (SDM). Kedua, otonomi daerah dan desentralisasi
fiskal merupakan langkah strategis bangsa Indonesia untuk menyongsong era
globalisasi ekonomi dengan memperkuat basis perokonomian daerah. Otonomi
yang diberikan kepada daerah kabupaten dan kota dilaksanakan dengan memberikan
kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada pemerintah daerah
secara proporsional. Artinya, pelimpahan tanggungjawab akan diikuti oleh
pengaturan pembagian, dan pemanfaatan dan sumberdaya nasional yang
berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Hal-hal yang mendasar dalam undang-undang ini
adalah kuatnya upaya untuk mendorong pemberdayaan masyarakat, pengembangan
prakarsa dan kreativitas, peningkatan peran serta masyarakat, dan
pengembangan peran dan fungsi DPRD. UU ini memberikan otonomi secara penuh
kepada daerah kabupaten dan kota
untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi
masyarakatnya. Artinya, saat sekarang daerah sudah diberi kewenangan penuh
untuk merencanakan, melaksanakan, mengawasi, mengendalikan dan mengevaluasi
kebijakan-kebijakan daerah. Dengan semakin besarnya partisipasi masyarakat
ini, desentralisasi kemudian akan mempengaruhi komponen kualitas
pemerintahan lainnya. Salah satunya berkaitan dengan pergeseran orientasi
pemerintah, dari command and control menjadi berorientasi pada tuntutan
dan kebutuhan publik.
Orientasi yang seperti ini kemudian akan menjadi dasar bagi
pelaksanaan peran pemerintah sebagai stimulator, fasilitator, koordinator
dan entrepreneur (wirausaha) dalam proses pembangunan. Arahan yang diberikan oleh UU
No 22 Tahun 1999 sudah sangat baik. Tetapi benarkah ia dapat mewujudkan
pemerintah daerah otonom yang
efisien, efektif, transparan, dan akuntabel secara berkesinambungan? Jawabannya tergantung
pada formula atau rumusan yang diberikan oleh peraturan-peraturan pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya. Apabila semua
peraturan pelaksanaan tersebut sudah searah dengan undang-undang tersebut
maka kemungkinan untuk mencapai tujuan tersebut akan semakin besar.
OTONOMI DAERAH SEBAGAI UPAYA MEMPERKUAT BASIS
PEREKONOMIAN DAERAH
Saat ini, hampir
tiap negara bersiap-siap untuk menyambut dan menghadapi era perdagangan
bebas, baik dalam kerangka AFTA, APEC maupun WTO. Setiap negara berupaya
secara maksimal untuk menciptakan rerangka kebijakan yang mampu menciptakan
iklim perekonomian yang kondusif. Hal tersebut dimaksudkan untuk
meningkatkan investasi dalam negeri serta mampu mendorong masyarakat untuk
bermain di pasar global. Salah satu implikasi dari kondisi di atas adalah
adanya tuntutan masyarakat yang semakin tinggi terhadap efisiensi, dan
efektivitas sektor publik (pemerintahan). Hal tersebut disebabkan pasar
tidak akan kondusif jika sektor publiknya tidak efisien.
Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi,
efektivitas, dan akuntabilitas sektor publik di Indonesia. Dengan otonomi,
Daerah dituntut untuk mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan
tanpa mengurangi harapan masih adanya bantuan dan bagian (sharing)
dari Pemerintah Pusat dan menggunakan dana publik sesuai dengan prioritas
dan aspirasi masyarakat.
Dengan kondisi
seperti ini, peranan investasi swasta dan perusahaan milik daerah sangat
diharapkan sebagai pemacu utama pertumbuhan dan pembangunan ekonomi daerah
(enginee of growth). Daerah juga diharapkan mampu menarik investor
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah serta menimbulkan efek multiplier
yang besar.
Pemberian otonomi
daerah diharapkan dapat memberikan keleluasaan kepada daerah dalam
pembangunan daerah melalui usaha-usaha yang sejauh mungkin mampu meningkatkan
partisipasi aktif masyarakat, karena pada dasarnya terkandung tiga misi
utama sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, yaitu:
1. Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah
2. Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat
3. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta
(berpartisipasi) dalam proses pembangunan.
Globalisasi ekonomi telah meningkatkan
persaingan antar negara-negara dalam suatu sistem ekonomi internasional.
Salah satu cara menghadapi dan memanfaatkan perdagangan internasional
adalah meningkatkan daya saing melalui peningkatan efisiensi dan
produktivitas kerja. Sebagai langkah awal untuk meningkatkan efisiensi dan
produktivitas, perlu dilakukan perubahan struktural untuk memperkuat
kedudukan dan peran ekonomi rakyat dalam perekonomian nasional.
Perubahan struktural adalah perubahan dari
ekonomi tradisional yang subsistem menuju ekonomi modern yang berorientasi
pada pasar. Untuk mendukung perubahan struktural dari ekonomi tradisional
yang subsistem menuju ekonomi moderen diperlukan pengalokasian sumber daya,
penguatan kelembagaan, penguatan teknologi dan pembangunan sumber daya
manusia. Langkah-langkah yang perlu diambil dalam mewujudkan kebijakan
tersebut adalah sebagai berikut
(Sumodiningrat, 1999):
a.
Pemberian peluang atau akses yang lebih besar kepada aset produksi,
yang paling mendasar adalah akses pada dana.
b.
Memperkuat posisi transaksi dan kemitraan usaha ekonomi rakyat.
c.
Meningkatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan dalam rangka
kualitas sumber daya manusia, disertai dengan upaya peningkatan gizi.
d.
Kebijakan pengembangan industri harus mengarah pada penguatan
industri rakyat yang terkait dengan industri besar. Industri rakyat yang
berkembang menjadi industri-industri kecil dan menengah yang kuat harus
menjadi tulang punggung industri nasional.
e.
Kebijakan ketenagakerjaan yang mendorong tumbuhnya tenaga kerja
mandiri sebagai cikal bakal wirausaha baru yang nantinya berkembang menjadi
wirausaha kecil dan menengah yang kuat dan saling menunjang.
f.
Pemerataan pembangunan antar daerah. Ekonomi rakyat tersebut
tersebar di seluruh penjuru tanah air, oleh karena itu pemerataan
pembangunan daerah diharapkan mempengaruhi peningkatan pembangunan ekonomi
rakyat.
Sejalan dengan upaya untuk memantapkan
kemandirian Pemerintah Daerah yang dinamis dan bertanggung jawab, serta
mewujudkan pemberdayaan dan otonomi daerah dalam lingkup yang lebih nyata,
maka diperlukan upaya-upaya untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan
profesionalisme sumber daya manusia dan lembaga-lembaga publik di daerah
dalam mengelola sumber daya daerah. Upaya-upaya untuk meningkatkan
pengelolaan sumber daya daerah harus dilaksanakan secara komprehensif dan
terintegrasi mulai dari aspek perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
sehingga otonomi yang diberikan kepada daerah akan mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Dari aspek perencanaan, Daerah sangat
membutuhkan aparat daerah (baik eksekutif maupun legislatif) yang
berkualitas tinggi, bervisi strategik dan mampu berpikir strategik, serta
memiliki moral yang baik sehingga dapat mengelola pembangunan daerah dengan
baik. Partisipasi aktif dari semua elemen yang ada di daerah sangat
dibutuhkan agar perencanaan pembangunan daerah benar-benar mencerminkan
kebutuhan daerah dan berkaitan langsung dengan permasalahan yang dihadapi
daerah.
Dari aspek pelaksanaan, Pemerintah Daerah
dituntut mampu menciptakan sistem manajemen yang mampu mendukung
operasionalisasi pembangunan daerah. Salah satu aspek dari pemerintahan
daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan
keuangan daerah dan anggaran daerah. Anggaran Daerah atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen kebijakan
yang utama bagi Pemerintah Daerah.
Sebagai instrumen kebijakan, APBD menduduki
posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas
pemerintah daerah. APBD digunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya
pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan
pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa-masa yang akan datang, sumber
pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat untuk
memotivasi para pegawai, dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari
berbagai unit kerja. Dalam kaitan ini, proses penyusunan dan pelaksanaan
APBD hendaknya difokuskan pada upaya untuk mendukung pelaksanaan program
dan aktivitas yang menjadi preferensi daerah yang bersangkutan. Untuk
memperlancar pelaksanaan program dan aktivitas yang telah direncanakan dan
mempermudah pengendalian, pemerintah daerah dapat membentuk pusat-pusat
pertanggungjawaban (responsibility centers) sebagai unit pelaksana.
Untuk memastikan
bahwa pengelolaan dana publik (public money) telah dilakukan
sebagaimana mestinya (sesuai konsep value for money), perlu
dilakukan evaluasi terhadap hasil kerja pemerintah daerah. Evaluasi dapat
dilakukan oleh pihak internal yang dapat dilakukan oleh internal
auditor maupun oleh eksternal
auditor, misalnya auditor independen. Untuk menciptakan transparansi dan akuntabilitas
publik, pemerintah daerah perlu membuat Laporan Keuangan yang disampaikan
kepada publik. Pengawasan dari semua lapisan masyarakat dan khususnya dari DPRD mutlak diperlukan
agar otonomi yang diberikan kepada daerah tidak “kebablasan” dan dapat
mencapai tujuannya.
PERENCANAAN
STRATEGIK UNTUK MENENTUKAN ARAH DAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN YANG BERORIENTASI
PUBLIK
Aspek perencanaan
memiliki peranan yang penting bagi suatu daerah. Aktivitas pemerintah akan
terlaksana dengan lebih baik jika seluruh tahapan proses perencanaan
dilaksanakan secara konsekuen. Perencanaan strategik mendorong pemikiran ke
depan dan menjelaskan arah yang dikehendaki di masa yang akan datang. Barry
(1986) meyakini bahwa kinerja organisasi yang menggunakan perencanaan
strategik, baik organisasi besar maupun kecil, jauh melampaui organisasi
lainnya yang tidak menggunakan perencanaan strategik.
Hal ini antara lain
karena perencanaan itu didasarkan atas visi dan misi strategik yang jelas.
Visi dan misi strategik itu sendiri mampu mengendalikan arah perencanaan
yang baik.
Perencanaan
strategik memiliki peranan yang penting bagi Pemda, karena di sanalah
terlihat dengan jelas peranan Kepala Daerah dalam mengkoordinasikan semua
unit kerjanya. Bagi kebanyakan pemerintah daerah, perencanaan strategik
akan membantu dalam menentukan arah masa depan daerahnya, kecamatannya dan
desanya (Mercer, 1991).
Dengan melaksanakan
perencanaan strategik secara benar, para eksekutif daerah dapat
meningkatkan kemampuan pejabat-pejabat terasnya dalam mengevaluasi,
memilih, dan mengimplementasikan berbagai pendekatan alternatif untuk
membiayai dan memberikan pelayanan terhadap kebutuhan masyarakatnya.
Secara lebih
spesifik, dengan konsep perencanaan strategik berarti kita membicarakan
hubungan antara lingkungan internal dan lingkungan eksternal. Konsep ini
memberi petunjuk bagaimana menghadapi dan menanggulangi perubahan yang
terjadi di lingkungan eksternal melalui serangkaian tindakan di lingkungan
internal. Lebih dari itu, perencanaan strategik bahkan mampu memberikan
petunjuk bagi para eksekutif dalam upaya mempengaruhi dan mengendalikan
lingkungan itu dan tidak hanya sekedar memberi reaksi atas perubahan di
tingkat eksternal tersebut. Dengan demikian, pemerintah daerah diharapkan
tetap mampu mengendalikan arah perjalanannya menuju sasaran yang
dikehendaki.
Di tingkat
internal, perencanaan strategik mampu menciptakan sinergi dan l’esprit
de corps, yaitu semangat korp yang penuh integritas, sehingga dapat
melicinkan jalan menuju sasaran yang diinginkan. Semangat itu diharapkan
akan meningkatkan produktivitas kerja, sehingga daerah akan mampu
memanfaatkan peluang dan mengantisipasi tantangan seoptimal mungkin. Hal
ini pada akhirnya akan berdampak pada semakin baiknya pelayanan yang
diberikan kepada masyarakat dan dunia usaha.
PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH YANG BERORIENTASI
PADA KEPENTINGAN PUBLIK
Secara garis besar, pengelolaan (manajemen)
keuangan daerah dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu manajemen penerimaan
daerah dan manajemen pengeluaran daerah. Kedua komponen tersebut akan
sangat menentukan kedudukan suatu pemerintah daerah dalam rangka
melaksanakan otonomi daerah. Konsekuensi logis pelaksanaan otonomi daerah
berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999 menyebabkan
perubahan dalam manajemen keuangan daerah. Perubahan tersebut antara lain
adalah perlunya dilakukan budgeting reform atau reformasi anggaran.
Reformasi anggaran meliputi proses penyusunan,
pengesahan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran. Berbeda dengan UU
No. 5 tahun 1974, proses penyusunan, mekanisme pelaksanaan dan
pertanggungjawaban anggaran daerah menurut UU No. 22 tahun 1999 adalah
tidak diperlukannya lagi pengesahan dari Menteri Dalam Negeri untuk APBD
Propinsi dan pengesahan Gubernur untuk APBD Kabupaten/Kota, melainkan cukup
pengesahan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) melalui Peraturan
Daerah (Perda).
Aspek utama budgeting
reform adalah perubahan dari traditional budget ke performance
budget. Secara garis besar terdapat
dua pendekatan utama yang memiliki perbedaan mendasar. Kedua pendekatan
tersebut adalah: (a) Anggaran tradisional atau anggaran konvensional; dan
(b) Pendekatan baru yang sering dikenal dengan pendekatan New Public
Management.
Anggaran
tradisional merupakan pendekatan yang paling banyak digunakan di negara
berkembang dewasa ini. Terdapat dua ciri utama dalam pendekatan ini, yaitu:
(a) cara penyusunan anggaran yang didasarkan atas pendekatan incrementalism
dan (b) struktur dan susunan anggaran yang bersifat line-item.
Ciri lain yang melekat pada pendekatan anggaran tradisional tersebut
adalah: (c) cenderung sentralistis; (d) bersifat spesifikasi; (e) tahunan;
dan (f) menggunakan prinsip anggaran bruto. Struktur anggaran tradisional
dengan ciri-ciri tersebut tidak mampu mengungkapkan besarnya dana yang
dikeluarkan untuk setiap kegiatan, dan bahkan anggaran tradisional tersebut
gagal dalam memberikan informasi tentang besarnya rencana kegiatan. Oleh
karena tidak tersedianya berbagai informasi tersebut, maka satu-satunya
tolok ukur yang dapat digunakan untuk tujuan pengawasan hanyalah tingkat
kepatuhan penggunaan anggaran.
Masalah utama anggaran
tradisional adalah terkait dengan tidak adanya perhatian terhadap konsep value
for money. Konsep ekonomi, efisiensi dan efektivitas seringkali tidak
dijadikan pertimbangan dalam penyusunan anggaran tradisional. Dengan tidak
adanya perhatian terhadap konsep value for money ini, seringkali
pada akhir tahun anggaran terjadi kelebihan anggaran yang pengalokasiannya
kemudian dipaksakan pada aktivitas-aktivitas yang sebenarnya kurang penting
untuk dilaksanakan.
Dilihat dari berbagai
sudut pandang, metode penganggaran tradisional memiliki beberapa kelemahan,
antara lain (Mardiasmo, 2002):
a.
Hubungan yang tidak memadai (terputus) antara anggaran
tahunan dengan rencana pembangunan jangka panjang.
b.
Pendekatan incremental menyebabkan
sejumlah besar pengeluaran tidak pernah diteliti secara menyeluruh
efektivitasnya.
c.
Lebih berorientasi pada input daripada output.
Hal tersebut menyebabkan anggaran tradisional tidak dapat dijadikan sebagai
alat untuk membuat kebijakan dan pilihan sumber daya, atau memonitor
kinerja. Kinerja dievaluasi dalam bentuk apakah dana telah habis
dibelanjakan, bukan apakah tujuan tercapai.
d.
Sekat-sekat antar departemen yang kaku membuat
tujuan nasional secara keseluruhan sulit dicapai. Keadaan tersebut
berpeluang menimbulkan konflik, overlapping, kesenjangan, dan
persaingan antar departemen.
e.
Proses anggaran terpisah untuk pengeluaran
rutin dan pengeluaran modal/investasi.
f.
Anggaran tradisional bersifat tahunan. Anggaran
tahunan tersebut sebenarnya terlalu pendek, terutama untuk proyek modal dan
hal tersebut dapat mendorong praktik-praktik yang tidak diinginkan (korupsi
dan kolusi).
g.
Sentralisasi penyiapan anggaran, ditambah
dengan informasi yang tidak memadai menyebabkan lemahnya perencanaan
anggaran. Sebagai akibatnya adalah munculnya budget padding atau budgetary
slack.
h.
Persetujuan anggaran yang terlambat, sehingga
gagal memberikan mekanisme pengendalian untuk pengeluaran yang sesuai,
seperti seringnya dilakukan revisi anggaran dan ’manipulasi anggaran.’
i.
Aliran informasi (sistem informasi finansial)
yang tidak memadai yang menjadi
dasar mekanisme pengendalian rutin, mengidentifikasi masalah dan tindakan.
Beberapa
kelemahan anggaran tradisional di atas sebenarnya lebih banyak merupakan
kelemahan pelaksanaan anggaran, bukan bentuk anggaran tradisional.
Era New Public Management (NPM)
Reformasi
sektor publik yang salah satunya ditandai dengan munculnya era New
Public Management telah mendorong usaha untuk mengembangkan pendekatan
yang lebih sistematis dalam perencanaan anggaran sektor publik. Seiring
dengan perkembangan tersebut, muncul beberapa teknik penganggaran sektor
publik, misalnya adalah teknik anggaran kinerja (performance budgeting),
Zero Based Budgeting (ZBB), dan Planning, Programming, and
Budgeting System (PPBS).
Pendekatan
baru dalam sistem anggaran publik tersebut cenderung memiliki karakteristik
umum sebagai berikut:
-
Komprehensif/komparatif
-
Terintegrasi
dan lintas departemen
-
Proses
pengambilan keputusan yang rasional
-
Spesifikasi
tujuan dan perangkingan prioritas
-
Analisis
total cost dan benefit (termasuk opportunity cost)
-
Berorientasi
input, output, dan outcome (value for money), bukan sekedar input.
-
Adanya
pengawasan kinerja.
Tabel
1. Menyajikan perbedaan mendasar antara anggaran tradisional dengan
anggaran era new public management.
Tabel 1 Perbandingan
Anggaran Tradisional vs Anggaran Dengan Pendekatan NPM
ANGGARAN
TRADISIONAL
|
NEW PUBLIC MANAGEMENT
|
Sentralistis
|
Desentralisasi & devolved
management
|
Berorientasi pada input
|
Berorientasi pada input,
output, dan outcome (value for money)
|
Tidak terkait dengan
perencanaan jangka panjang
|
Utuh dan komprehensif
dengan perencanaan jangka panjang
|
Line-item dan incrementalism
|
Berdasarkan sasaran dan
target kinerja
|
Batasan departemen yang
kaku (rigid department)
|
Lintas departemen (cross
department)
|
Menggunakan aturan
klasik: Vote accounting
|
Zero-Base Budgeting, Planning Programming Budgeting System
|
Prinsip anggaran bruto
|
Sistematik dan rasional
|
Bersifat tahunan
|
Bottom-up budgeting
|
Traditional budget didominasi oleh penyusunan anggaran yang bersifat line-item dan
incrementalism, yaitu proses penyusunan anggaran yang hanya
mendasarkan pada besarnya realisasi anggaran tahun sebelumnya,
konsekuensinya tidak ada perubahan mendasar atas anggaran baru. Hal ini
seringkali bertentangan dengan kebutuhan riil dan kepentingan masyarakat.
Dengan basis seperti ini, APBD masih terlalu berat menahan arahan, batasan,
serta orientasi subordinasi kepentingan pemerintah atasan. Hal tersebut
menunjukkan terlalu dominannya peranan pemerintah pusat terhadap pemerintah
daerah. Besarnya dominasi ini seringkali mematikan inisiatif dan prakarsa
Pemerintah Daerah, sehingga memunculkan fenomena pemenuhan petunjuk
pelaksanaan dan petunjuk teknis dari pemerintah pusat.
Performance budget pada dasarnya adalah sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran
daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja. Kinerja
tersebut harus mencerminkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik,
yang berarti harus berorientsi pada kepentingan publik. Merupakan kebutuhan
masyarakat daerah untuk menyelenggarakan otonomi secara luas, nyata dan
bertanggung jawab dan otonomi daerah harus dipahami sebagai hak atau
kewenangan masyarakat daerah untuk mengelola dan mengatur urusannya
sendiri. Aspek
atau peran pemerintah daerah tidak lagi merupakan alat kepentingan
pemerintah pusat belaka melainkan alat untuk memperjuangkan aspirasi dan
kepentingan daerah. Perubahan dalam
pengelolaan keuangan daerah harus tetap berpegang pada prinsip-prinsip
pengelolaan keuangan daerah (anggaran) yang baik.
Prinsip manajemen keuangan daerah
yang diperlukan untuk mengontrol kebijakan keuangan daerah tersebut
meliputi:
·
Kejujuran dalam mengelola keuangan publik (probity);
Akuntabilitas adalah prinsip pertanggungjawaban
publik yang berarti bahwa proses penganggaran mulai dari perencanaan,
penyusunan dan pelaksanaan harus benar-benar dapat dilaporkan dan
dipertanggungjawabkan kepada DPRD dan masyarakat. Akuntabilitas mensyaratkan
bahwa pengambil keputusan berperilaku sesuai dengan mandat yang
diterimanya. Untuk ini, perumusan kebijakan, bersama-sama dengan cara dan
hasil kebijakan tersebut harus dapat diakses dan dikomunikasikan secara
vertikal maupun horizontal dengan baik.
Value for money berarti diterapkannya tiga prinsip dalam proses penganggaran yaitu
ekonomi, efisiensi, dan efektivitas. Ekonomi berkaitan dengan pemilihan dan
penggunaan sumber daya dalam jumlah dan kualitas tertentu pada harga yang
paling murah. Efisiensi berarti bahwa penggunaan dana masyarakat (public
money) tersebut dapat menghasilkan output yang maksimal (berdaya guna).
Efektivitas berarti bahwa penggunaan anggaran tersebut harus mencapai
target-target atau tujuan kepentingan publik.
Indikasi keberhasilan
otonomi daerah dan desentralisasi adalah terjadinya peningkatan pelayanan
dan kesejahteraan masyarakat (social welfare) yang semakin baik,
kehidupan demokrasi yang semakin maju, keadilan, pemerataan, serta adanya
hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. Keadaan
tersebut hanya akan tercapai apabila lembaga sektor publik dikelola dengan
memperhatikan konsep value for money.
Dalam konteks otonomi
daerah, value for money merupakan jembatan untuk menghantarkan pemerintah
daerah mencapai good governance. Value for money tersebut
harus dioperasionalkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran
daerah. Untuk mendukung dilakukannya pengelolaan dana publik (public
money) yang mendasarkan konsep value for money, maka diperlukan
sistem pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah yang baik. Hal
tersebut dapat tercapai apabila pemerintah daerah memiliki sistem akuntansi
yang baik.
Kejujuran dalam
Pengelolaan Keuangan Publik (Probity)
Pengelolaan keuangan
daerah harus dipercayakan kepada staf yang memiliki integritas dan
kejujuran yang tinggi, sehingga kesempatan untuk korupsi dapat
diminimalkan.
Transparansi adalah
keterbukaan pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan keuangan daerah
sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh DPRD dan masyarakat. Transparansi
pengelolaan keuangan daerah pada akhirnya akan menciptakan horizontal
accountability antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya sehingga
tercipta pemerintahan daerah yang bersih, efektif, efisien, akuntabel, dan
responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat.
Penerimaan
dan pengeluaran daerah dalam APBD harus selalu dimonitor, yaitu
dibandingkan antara yang dianggarkan dengan yang dicapai. Untuk itu perlu
dilakukan analisis varians (selisih) terhadap penerimaan dan pengeluaran
daerah agar dapat sesegera mungkin dicari penyebab timbulnya varians dan
tindakan antisipasi ke depan.
Prinsip-prinsip yang mendasari pengelolaan keuangan daerah tersebut
harus senantiasa dipegang teguh dan dilaksanakan oleh penyelenggara
pemerintahan, karena pada dasarnya
masyarakat (publik) memiliki hak dasar terhadap pemerintah, yaitu:
1.
Hak untuk mengetahui (right to know),
yaitu:
- Mengetahui kebijakan pemerintah.
- Mengetahui keputusan yang diambil pemerintah.
- Mengetahui alasan dilakukannya suatu kebijakan
dan keputusan tertentu.
2.
Hak untuk diberi informasi (right to be
informed) yang meliputi hak untuk diberi penjelasan secara terbuka atas
permasalahan-permasalahan tertentu yang menjadi perdebatan publik.
3.
Hak untuk didengar aspirasinya (right to be
heard and to be listened to).
Dalam upaya pemberdayaan
pemerintah daerah, maka perspektif perubahan yang diinginkan dalam
pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah adalah sebagai berikut :
1.
Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik (public
oriented). Hal ini tidak saja terlihat pada besarnya porsi
pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik, tetapi juga terlihat pada
besarnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan
pengawasan/pengendalian keuangan daerah.
2.
Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan
anggaran daerah pada khususnya.
3.
Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran para partisipan
yang terkait dalam pengelolaan anggaran, seperti DPRD, KDH, Sekda dan
perangkat daerah lainnya.
4.
Kerangka hukum dan administrasi bagi pembiayaan, investasi, dan
pengelolaan uang daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value for
money, transparansi dan akuntabilitas.
5.
Kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD, KDH, dan PNS-Daerah, baik
ratio maupun dasar pertimbangannya.
6.
Ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja, dan
anggaran multi-tahunan.
7.
Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang daerah yang lebih profesional.
8.
Standar dan sistem akuntansi keuangan daerah, laporan keuangan, peran
akuntan independen dalam pemeriksaan, pemberian opini dan rating kinerja
anggaran, dan transparansi informasi anggaran kepada publik.
9.
Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran
asosiasi, dan peran anggota masyarakat guna pengembangan profesionalisme
aparat pemerintah daerah.
10.
Pengembangan sistem informasi keuangan daerah untuk menyediakan
informasi anggaran yang akurat dan pengembangan komitmen pemerintah daerah
terhadap penyebarluasan informasi sehingga memudahkan pelaporan dan
pengendalian, serta mempermudahkan mendapatkan informasi.
Secara lebih spesifik, paradigma anggaran daerah yang
diperlukan di era otonomi daerah adalah sebagai berikut:
1.
Anggaran Daerah
harus bertumpu pada kepentingan publik.
2.
Anggaran Daerah
harus dikelola dengan hasil yang baik dan biaya rendah (work better and
cost less).
3.
Anggaran Daerah
harus mampu memberikan transparansi dan akuntabilitas secara rasional untuk
keseluruhan siklus anggaran.
4.
Anggaran Daerah
harus dikelola dengan pendekatan kinerja (performance oriented)
untuk seluruh jenis pengeluaran maupun pendapatan.
5.
Anggaran Daerah
harus mampu menumbuhkan profesionalisme kerja di setiap organisasi yang
terkait.
6.
Anggaran Daerah
harus dapat memberikan keleluasaan bagi para pelaksananya untuk
memaksimalkan pengelolaan dananya dengan memperhatikan prinsip value for
money.
PUSAT
PERTANGGUNGJAWABAN SEBAGAI UPAYA PENGENDALIAN MANAJEMEN
Untuk mendukung kelancaran operasional pemerintahan,
perlu didisain sistem pengendalian manajemen yang baik. Sistem pengendalian
manajemen harus didukung dengan struktur organisasi yang baik. Pusat
pertanggungjawaban (responsibility centers) merupakan salah satu bentuk
struktur organisasi yang dapat diterapkan di pemerintah daerah. Pusat
pertanggungjawaban adalah unit organisasi yang dipimpin oleh manajer
(pimpinan) yang bertanggungjawab terhadap aktivitas pusat
pertanggungjawaban yang dipimpinnya. Suatu organisasi merupakan kumpulan
dari berbagai pusat pertanggungjawaban. Secara umum, tujuan dibuatnya
pusat-pusat pertanggungjawaban adalah (Mardiasmo, 2002):
1.
Sebagai basis perencanaan,
pengendalian, dan penilaian kinerja manajer dan unit organisasi yang
dipimpinnya;
2.
Untuk memudahkan mencapai
tujuan organisasi;
3.
Memfasilitasi terbentuknya
goal congruence;
4.
Mendelegasikan tugas dan
wewenang ke unit-unit yang memiliki kompetensi sehingga mengurangi beban
tugas manajer pusat;
5.
Mendorong kreativitas dan
daya inovasi bawahan;
6.
Sebagai alat untuk
melaksanakan strategi organisasi secara efektif dan efisien;
7.
Sebagai alat pengendalian
anggaran.
Tanggung jawab manajer pusat pertanggungjawaban
adalah untuk menciptakan hubungan yang optimal antara sumber daya input
yang digunakan dengan output yang dihasilkan dikaitkan dengan target
kinerja. Input diukur dengan jumlah sumber daya yang digunakan, sedangkan
output diukur dengan jumlah produk/output yang dihasilkan.
Pada
dasarnya terdapat empat jenis pusat pertanggungjawaban, yaitu: Pusat biaya (expense
center), pusat pendapatan (revenue center), pusat laba (profit
center), dan pusat investasi (investment center).
Pemerintah daerah dapat dianggap sebagai suatu pusat
pertanggungjawaban. Pusat pertanggungjawaban besar tersebut dapat dipecah-pecah
lagi menjadi pusat-pusat pertanggungjawaban yang lebih kecil hingga pada
level pelayanan atau program, misalnya dinas dan subdinas. Pusat-pusat
pertanggungjawaban tersebut kemudian menjadi dasar untuk perencanaan dan
pengendalian anggaran serta penilaian kinerja pada unit yang bersangkutan.
Manajer pusat pertanggungjawaban, sebagai budget
holder, memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan anggaran. Pusat
pertanggungjawaban memperoleh sumber daya input berupa tenaga kerja,
material, dan sebagainya yang dengan input tersebut diharapkan dapat
menghasilkan output dalam bentuk barang atau pelayanan pada tingkat
kuantitas dan kualitas tertentu. Anggaran mencerminkan nilai rupiah dari
input yang dialokasikan ke pusat-pusat pertanggungjawaban dan output yang
diharapkan atau level aktivitas yang dihasilkan. Pengendalian anggaran
meliputi pengukuran terhadap output dan belanja yang riil dilakukan
dibandingkan dengan anggaran.
Adanya perbedaan atau varians antara hasil yang
dicapai dengan yang dianggarkan kemudian dianalisis untuk diketahui
penyebabnya dan dicari siapa yang bertanggungjawab atas terjadinya varians
tersebut, sehingga dapat segera dilakukan tindakan korektif.
Idealnya, struktur pusat pertanggungjawaban sebagai
alat pengendalian anggaran sejalan dengan program atau struktur aktivitas
organisasi. Dengan perkataan lain, tiap-tiap pusat pertanggungjawaban
bertugas untuk melaksanakan program atau aktivitas tertentu, dan
penggabungan program-program dari tiap-tiap pusat pertanggungjawaban tersebut
seharusnya mendukung program pusat pertanggungjawaban pada level yang lebih
tinggi, sehingga pada akhirnya tujuan umum organisasi dapat tercapai.
PENYAJIAN INFORMASI AKUNTANSI PEMERINTAH DAERAH
UNTUK MENINGKATKAN TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS PUBLIK
Salah satu alat untuk
memfasilitasi terciptanya transparansi dan akuntabilitas publik adalah
melalui penyajian Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang komprehensif.
Dalam era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah
diharapkan dapat menyajikan laporan keuangan yang terdiri atas Laporan
Perhitungan APBD (Laporan Realisasi Anggaran), Nota Perhitungan APBD,
Laporan Aliran Kas, dan Neraca. Laporan keuangan tersebut merupakan
komponen penting untuk menciptakan akuntabilitas sektor publik dan merupakan
salah satu alat ukur kinerja finansial pemerintah daerah. Bagi pihak
eksternal, Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang berisi informasi
keuangan daerah akan digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk pengambilan
keputusan ekonomi, sosial, dan politik. Sedangkan bagi pihak intern pemerintah
daerah, laporan keuangan tersebut dapat digunakan sebagai alat untuk
penilaian kinerja.
Sejalan dengan pelaksanaan
otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, tantangan yang dihadapi akuntansi
sektor publik adalah menyediakan informasi yang dapat digunakan untuk
memonitor akuntabilitas pemerintah daerah yang meliputi akuntabilitas
finansial (financial accountability), akuntabilitas manajerial (managerial
accountability), akuntabilitas hukum (legal accountability),
akuntabilitas politik (political accountability), dan akuntabilitas
kebijakan (policy accountability). Akuntansi sektor publik memiliki
peran utama untuk menyiapkan laporan keuangan sebagai salah satu bentuk
pelaksanaan akuntabilitas publik.
Secara garis besar, tujuan umum
penyajian laporan keuangan oleh pemerintah daerah adalah:
1.
Untuk memberikan
informasi yang digunakan dalam pembuatan keputusan ekonomi, sosial, dan
politik serta sebagai bukti pertanggungjawaban (accountability) dan
pengelolaan (stewardship);
2.
Untuk memberikan
informasi yang digunakan untuk mengevaluasi kinerja manajerial dan
organisasional.
Secara khusus, tujuan penyajian
laporan keuangan oleh pemerintah daerah adalah:
1.
Memberikan informasi keuangan untuk menentukan dan memprediksi aliran
kas, saldo neraca, dan kebutuhan sumber daya finansial jangka pendek unit
pemerintah;
2.
Memberikan informasi keuangan untuk menentukan dan memprediksi
kondisi ekonomi suatu unit pemerintahan dan perubahan-perubahan yang
terjadi di dalamnya;
3.
Memberikan informasi keuangan untuk memonitor kinerja, kesesuaiannya
dengan peraturan perundang-undangan, kontrak yang telah disepakati, dan
ketentuan lain yang disyaratkan;
4.
Memberikan informasi untuk perencanaan dan penganggaran, serta untuk
memprediksi pengaruh pemilikan dan pembelanjaan sumber daya ekonomi
terhadap pencapaian tujuan operasional;
5. Memberikan
informasi untuk mengevaluasi kinerja manajerial dan organisasional dalam
beberapa hal seperti :
a.
untuk menentukan biaya program, fungsi, dan aktivitas sehingga
memudahkan analisis dan melakukan perbandingan dengan kriteria yang telah
ditetapkan, membandingkan dengan kinerja periode-periode sebelumnya, dan
dengan kinerja unit pemerintah lain;
b.
untuk mengevaluasi
tingkat ekonomi dan efisiensi operasi, program, aktivitas, dan fungsi
tertentu di unit pemerintah;
c.
untuk mengevaluasi
hasil suatu program, aktivitas, dan fungsi serta efektivitas terhadap
pencapaian tujuan dan target;
d.
untuk mengevaluasi
tingkat pemerataan (equity).
REINVENTING
GOVERNMENT: Model Pemerintah
Daerah Masa Depan
Pemberian otonomi daerah
akan mengubah perilaku pemerintah daerah untuk lebih efisien dan
profesional. Untuk itu, pemerintah daerah perlu melakukan perekayasaan
ulang terhadap birokrasi yang selama ini dijalankan (bureaucracy reengineering).
Hal tersebut karena pada saat ini dan di masa yang akan datang pemerintah
(pusat dan daerah) akan menghadapi gelombang perubahan baik yang berasal
dari tekanan eksternal maupun dari internal masyarakatnya.
Dari sisi eksternal,
pemerintah akan menghadapi globalisasi yang sarat dengan persaingan dan
liberalisme arus informasi, investasi, modal, tenaga kerja, dan budaya. Di
sisi internal, pemerintah akan mengahadapi masyarakat yang semakin cerdas (knowledge
based society) dan masyarakat yang semakin banyak tuntutannya (demanding
community).
Shah (1997) meramalkan
bahwa pada era seperti ini, ketika globalization cascade sudah
semakin meluas, pemerintah (termasuk pemerintah daerah) akan semakin
kehilangan kendali pada banyak persoalan, seperti pada perdagangan
internasional, informasi dan ide, serta transaksi keuangan. Di masa depan,
negara menjadi terlalu besar untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan
kecil tetapi terlalu kecil untuk dapat menyelesaikan semua masalah yang
dihadapi oleh masyarakat. Pendapat yang tidak jauh berbeda juga disampaikan
oleh sejumlah ilmuwan di bidang manajemen dan administrasi publik seperti
Osborne dan Gaebler (1992) dengan konsepnya “reinventing government”.
Perspektif baru pemerintah
menurut Osborne dan Gaebler tersebut adalah:
1. Pemerintahan katalis : fokus pada pemberian pengarahan bukan
produksi pelayanan publik
Pemerintah wirausaha memfokuskan diri pada pemberian arahan, sedangkan
produksi pelayanan publik diserahkan
pada pihak swasta dan/atau sektor ketiga (lembaga
swadaya masyarakat dan nonprofit lainnya). Pemerintah hanya memproduksi pelayanan publik yang belum dapat dilakukan oleh pihak
non-pemerintah.
2. Pemerintah
milik masyarakat: memberdayakan masyarakat daripada melayani
Pemerintah memberikan wewenang kepada
(memberdayakan) masyarakat sehingga mereka
mampu menjadi masyarakat yang dapat menolong dirinya sendiri (self-help
community). Sebagai misal, untuk dapat lebih mengembangkan usaha kecil,
pemerintah memberikan wewenang yang optimal pada asosiasi pengusaha kecil
untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi.
3.
Pemerintah yang
kompetitif: menyuntikkan semangat kompetisi dalam pemberian pelayanan
publik
Pemerintah
wirausaha berusaha menciptakan kompetisi karena ompetisi adalah satu-satunya cara untuk menghemat biaya
sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan. Dengan kompetisi, banyak pelayanan publik yang
dapat ditingkatkan kualitasnya tanpa harus memperbesar biaya.
4. Pemerintah yang digerakkan oleh misi: mengubah organisasi yang
digerakkan oleh peraturan menjadi organisasi yang digerakkan oleh misi
Apa yang dapat dan tidak dapat dilaksanakan oleh pemerintah diatur dalam
mandatnya. Namun tujuan pemerintah bukanlah mandatnya tetapi misinya.
5. Pemerintah yang berorientasi pada hasil: membiayai
hasil bukan masukan
Pemerintah wirausaha berusaha mengubah
bentuk penghargaan dan insentif dengan cara membiayai hasil dan bukan masukan. Pemerintah mengembangkan
suatu standar kinerja yang mengukur seberapa baik suatu unit kerja mampu
memecahkan permasalahan yang menjadi tanggungjawabnya. Semakin baik
kinerjanya, semakin banyak pula dana
yang akan dialokasikan untuk mengganti semua dana yang telah dikeluarkan
oleh unit kerja tersebut.
6. Pemerintah berorientasi pada pelanggan: memenuhi kebutuhan pelanggan,
bukan birokrasi
Pemerintah wirausaha akan berusaha mengidentifikasikan pelanggan yang
sesungguhnya. Dengan cara seperti ini, tidak berarti
bahwa pemerintah tidak bertanggungjawab pada dewan legislatif, tetapi sebaliknya, ia menciptakan sistem pertangungjawaban ganda
(dual accountability): kepada legislatif dan masyarakat.
7. Pemerintahan wirausaha : mampu menciptakan pendapatan dan tidak sekedar
membelanjakan
Pemerintah
daerah wirausaha dapat mengembangkan beberapa pusat pendapatan dari proses
penyediaan pelayanan publik, misalnya: BPS dan Bappeda, yang dapat menjual
informasi tentang daerahnya kepada pusat-pusat penelitian; BUMN/BUMD;
pemberian hak guna usaha yang menarik kepada para pengusaha dan masyarakat;
penyertaan modal; dan lain-lain.
8. Pemerintah
antisipatif: berupaya mencegah daripada mengobati
Pemerintah wirausaha tidak reaktif tetapi proaktif. Pemerintah tidak hanya mencoba untuk mencegah
masalah, tetapi juga berupaya keras untuk mengantisipasi masa depan melalui
perencanaan strategisnya.
9. Pemerintah
desentralisasi: dari hierarkhi menuju partisipatif dan tim kerja
Pemerintah wirausaha memberikan
kesempatan pada masyarakat, asosiasi-asosiasi, pelanggan, dan lembaga
swadaya masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan.
10. Pemerintah
berorientasi pada (mekanisme) pasar: mengadakan perubahan dengan mekanisme
pasar (sistem insentif) dan bukan dengan mekanisme administratif (sistem
prosedur dan pemaksaan)
Pemerintah wirausaha menggunakan
mekanisme pasar sebagai dasar untuk alokasi sumberdaya yang dimilikinya.
Pemerintah wirausaha tidak memerintahkan dan mengawasi tetapi mengembangkan
dan menggunakan sistem insentif agar orang tidak melakukan
kegiatan-kegiatan yang merugikan masyarakat.
Reinventing government memang merupakan konsep yang monumental, akan
tetapi tanpa diikuti dengan perubahan-perubahan lain seperti dilakukannya bureaucracy reengineering,
rightsizing, dan perbaikan
mekanisme reward and punishment,
maka konsep reinventing government tidak akan dapat mengatasi
permasalahan birokrasi selama ini. Penerapan konsep reinventing government membutuhkan arah yang jelas dan political will yang
kuat dari pemerintah dan dukungan masyarakat. Selain itu, yang terpenting
adalah adanya perubahan pola pikir dan mentalitas baru di tubuh birokrasi
pemerintah itu sendiri karena sebaik apapun konsep yang ditawarkan jika
semangat dan mentalitas penyelenggara pemerintahan masih menggunakan
paradigma lama, konsep tersebut hanya akan menjadi slogan kosong tanpa
membawa perubahan apa-apa.
OPTIMALISASI PENGAWASAN DAN PEMERIKSAAN UNTUK MENDORONG TERCAPAINYA
TUJUAN OTONOMI DAERAH
Pemberian otonomi daerah
seluas-luasnya berarti pemberian kewenangan dan keleluasaan (diskresi) kepada daerah untuk
mengelola dan memanfaatkan sumber daya daerah secara optimal. Agar tidak
terjadi penyimpangan dan penyelewengan, pemberian wewenang dan keleluasaan
yang luas tersebut harus diikuti dengan pengawasan yang kuat. Penguatan
fungsi pengawasan dapat dilakukan melalui optimalisasi peran DPRD sebagai
kekuatan penyeimbang (balance of power) bagi eksekutif daerah dan
partisipasi masyarakat secara langsung maupun tidak langsung melalui LSM
dan organisasi sosial kemasyarakatan di daerah (social control).
Pengawasan oleh DPRD
tersebut harus sudah dilakukan sejak tahap perencanaan, tidak hanya pada
tahap pelaksanaan dan pelaporan saja sebagaimana yang terjadi selama ini.
Hal ini penting karena dalam era otonomi, DPRD memiliki kewenangan untuk
menentukan Arah dan Kebijakan Umum APBD. Apabila DPRD lemah dalam tahap
perencanaan (penentuan Arah dan Kebijakan Umum APBD), maka dikhawatirkan
pada tahap pelaksanaan akan mengalami banyak penyimpangan. Akan tetapi
harus dipahami oleh anggota DPRD bahwa pengawasan terhadap eksekutif daerah
hanyalah pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan (policy) yang
digariskan bukan pemeriksaan. Fungsi pemeriksaan hendaknya diserahkan
kepada lembaga pemeriksa yang memiliki otoritas dan keahlian profesional,
misalnya BPK, BPKP, atau akuntan publik yang independen. Dewan dapat
meminta BPK atau auditor independen lainnya untuk melakukan pemeriksaan
terhadap kinerja keuangan eksekutif.
Untuk memperkuat
fungsi pengawasan, DPRD bisa membentuk badan ombudsmen yang berfungsi sebagai pengawas independen
untuk mengawasi jalannya suatu lembaga publik. Namun untuk fungsi
pemeriksaan tetap harus dilakukan oleh badan yang memiliki otoritas dan keahlian profesional. Hal tersebut agar DPRD tidak disibukkan dengan urusan-urusan teknis semata, sehingga Dewan dapat lebih berkonsentrasi pada
permasalahan-permasalahan yang bersifat kebijakan.
Salah satu kunci keberhasilan penyelenggaraan
pemerintahan dalam menghadapi era global adalah dengan mengembangkan
otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dengan demikian, diharapkan
mekanisme perumusan kebijakan yang akomodatif terhadap aspirasi masyarakat
daerah dapat dibangun, sehingga keberadaan otonomi daerah akan lebih
bermakna dan pada akhirnya akan meningkatkan mutu pelayanan kepada
masyarakat.
Sejalan dengan itu, Pemerintah Daerah harus
dapat mendayagunakan potensi sumber daya daerah secara optimal. Dengan
semakin berkurangnya tingkat ketergantungan Pemerintah Daerah terhadap Pemerintah
Pusat, Daerah dituntut mampu meningkatkan profesionalisme aparatur
Pemerintah Daerah, melaksanakan reformasi akuntansi keuangan daerah dan
manajemen keuangan daerah, melaksanakan perencanaan strategik secara benar,
sehingga akan memacu terwujudnya otonomi daerah yang nyata, dinamis,
serasi, dan bertanggung jawab, yang dapat memperkokoh basis perekonomian
daerah, serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dalam menyongsong
era perekonomian global.
Drs. Mardiasmo MBA
Akt.: Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada
(FE - UGM)
Makalah
disampaikan dalam Seminar Pendalaman Ekonomi Rakyat, Krisis Moneter
Indonesia, Jakarta,
7 Mei 2002
Coe, Charles K. (l989) Public Financial Management,
Prentice Hall, Englewood Cliffs, New
Jersey.
Juoro, Umar (1990) “Persaingan Global dan Ekonomi Indonesia
dekade 1990-an”, Prisma No. 8 tahun XIX.
Kuncoro, Mudrajat dan Abimanyu, Anggito (1995) “Struktur dan Kinerja
Industri Indonesia
dalam Era Deregulasi dan Globalisasi”, KELOLA, No. 10/IV.
Kuncoro, Mudrajat (1997) “Otonomi Daerah dalam Transisi”, pada Seminar
Nasional Manajemen Keuangan Daerah dalam Era Global, 12 April, Yogyakarta.
Mardiasmo dan Kirana Jaya, Wihana (1999) “Pengelolaan Keuangan
Daerah yang Berorientasi pada Kepentingan Publik”, KOMPAK STIE YO,
Yogyakarta, Oktober.
Mardiasmo (2002) “Akuntansi Sektor Publik”, Penerbit
Andi Yogyakarta.
Nasution, Anwar (l990) “Globalisasi Produksi, Pengusaha
Nasional dan Deregulasi Ekonomi”, Prisma No. 8 tahun XIX.
Ohmae, Kenichi (1991) The borderless World, Power
and Strategy in the Interlinked Economic, Harper Collins, London.
Osborne, David and Ted Gaebler
(1993) Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit Is
Transforming the Public Sector. Penguins Books, New York.
Shah, Anwar (l997) Balance, Accountability and
Responsiveness, Lesson about Decentralization, World Bank, Washington D.C.
Sumodiningrat, Gunawan (l999) Pemberdayaan Rakyat,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sudarsono, Juwono (l990) “Globalisasi Ekonomi dan Demokrasi Indonesia”,
Prisma, No. 8 tahun XIX.
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 22 tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah.
_________________, Undang-Undang No. 25 tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Umar, Asri (l999)
“Kerangka Strategis Perubahan Manajemen Keuangan Daerah Sebagai Implikasi
UU RI No. 22 tahun 1999 dan UU RI No. 25 tahun 1999”, PSPP, Jakarta,
Juli-Desember.
|